BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
1.1 Pengertian Gender
Dalam Webster’s New
World, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Sedangkan dalam Women’s
Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah “suatu konsep kultural yang
berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat”.
Beberapa definisi
tentang gender yang akan diungkapkan dibawah ini dapat dikatakan bahwa gender
merupakan jenis kelamin sosial, yang tentunya berbeda dengan jenis kelamin dalam
pengertian biologis. Dikatakan jenis kelamin sosial karena merupakan suatu
keadaan yang telah melekat pada masyarakat yang sudah membudaya dan norma sosial
masyarakat yang diberikan pada kaum
laki-laki dan perempuan dan tentu adanya pembedakan antara peran jenis kelamin laki–laki dan perempuan.
“Gender merujuk pada
peranan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang
diciptakan dalam keluarga, masyarakat dan budaya”(UNESCO, 2007).
Pemahaman konsep
gender menurut HT.Wilson (1998) yang memandang gender sebagai “suatu dasar untuk
menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan
kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan”.
Sementara Mansour
Fakih (2008:8) mengarttikan gender sebagai “suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural”.
Dalam makalah ini Gender dipersoalkan
karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan
fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan
pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil
pembangunan laki-laki dan perempuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.
Teori dan Konsep Gender
2.
1 Teori Gender
Teori gender diturunkan dari pemikiran-pemikiran dan
teori-teori sosial. Pada mulanya dikenal dua aliran teori, yaitu teori nurture
dan teori nature. Kemudian dikembangkan teori yang bersifat kompromistis yang
disebut teori keseimbangan atau teori equilibrium. Demikian selanjutnya
terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk membahas permasalahan
gender.
2.1.1 Teori
Nurtur
Menurut
teori nurture, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil kondtruksi sosial
budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu
menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya
dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi
sosial menempatakan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki
diidentikkan dengan kelas borjuis, sedangkan perempuan sebagai kelas proletar.
Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh kaum feminis internasional yang
cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan konsep 50 : 50 (fifty-fifty).,
konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan
kuantitas). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan baik dari
nilai agama maupun nilai budaya. Berangkat dari kenyataan tersebut, para
feminis berjuang dengan menggunakan pendekatan sosial konflik, yaitu konsep
yang diilhami oleh ajaran Karl marx (1818-1883) dan Machiavelli (1469-1527),
dilanjutkan oleh David Lockwood (1957) dengan tetap menerapkan konsep
dialektika. Randall Collins (1987) beranggapan bahwa keluarga adalah wadah
tempat pemaksaan, suami sebagai pemilik dan wanita sebagai pelayan. Margrit
Eiclen beranggapan bahwa keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya
dan perilaku diskriminasi gender. Konsep sosial konflik menempatkan kaum
laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas
(proletar). Bagi kaum proletar tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan
lain menyingkirkan penindas demi mencapai kebebasan dan persamaan. Aliran
nurture melahiran paham sosial konflik yang banyak dianut masyarakat sosialis
komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham sosial konflik
memperjuangkan kesamaan proporsional(perfect equality) dalam segala aktivitas
masyarakat, seperti di DPR, militer, manajer, menteri, gubernur, pilot, dan
partai politik. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus
(affirmative action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar
bisa termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum
laki-laki. Akibatnya sudah dapat diduga, yaitu timbulnya reaksi negatif dari
laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut yang dikenal dengan
perilaku “male backlash”.
2.1.2 Teori
Nature
Menurut
teori nature, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus
diterima. Perebedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa kedua
jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dana tugas yang
bias dipertukarkan, tetapi ada yang tak biasa dipertukarkan karena memang
berbeda secara kodrat alamiahnya. Banyak kaum perempuan yang yang sadar
terhadap kelemahan teori nurture, lalu beralih ke teori nature. Pendekatan
nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup
berkeluarga dan bermasyarakat. Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh
pada pada peran yang bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah
mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kerjasama kemitraan
secara struktural dan fungsional. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki,
memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam
kehidupan sosial ada pembagian tugas (dvision of labor). Begitu pula dalam
kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami dan istri, siapa yang
menjadi kepala rumah tangga dan siapa yang menjadi ibu rumah tangga. Dalam
organisasi sosial juga dikenal adanya pimpinan dan anggota, aatasan dan
bawahan, yang mempunyai tugas, fungsi, dan kewajiban yang berbeda. Aliran ini
melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peran, asal
dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan antara suami dan
istri dalam keluarga, atau antara kaum perempuan dan laki-laki dalam kehidupan
masyarakat.
2.1.3 Teori
Equilibrium (keseimbangan)
Teori
equilibrium atau teori keseimbangan menekankan pada konseo kemitraan dan
keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak
mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus
bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan kelurga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam
setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan
peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan di antara kedua elemen
tersebut bukan saling bertentangan, melainkan komplementer, saling melengkapi
satu sama lain. R.H. Tawney mengemukakan bawa keragaman peran apakah karena faktor
biologis, etnis, aspirasi, minat, pillihan, atau budaya pada hakekatnya adalah
realita kehidupan manusia. Hubungan antara laki-laki dan perempuan bukan
hubungan yang saling bertentangan, bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan
pula structural fungsional, melainkan hubungan komplementer, saling melengkapi,
dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis. Ini
karena setiap pihak mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan, kekuatan
sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerjasama
yang setara.
2.1.4 Teori
Adaptasi Awal
Teori
adaptasi awal pada prinsipnya menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan
dasar pembagian kerja secara seksual, sekaligus dasar sobordinasi perempuan.
Teori ini dibangun berdasarkan asumsi sebagai berikut :
1. Berburu sangat penting bagi kelangsungan nenek
moyang kita.
2. Laki-lakilah yang hamper selalu melakukan
kegiatan berburu
3. Perempuan bergantung pada laki-laki untuk
memperoleh daging
4. Laki-laki berbagi daging buruannya terutama
dengan istri-istri dan
anak-anaknya
5. Sekali pola pemabgian berdasarkan jenis kelamin
ini terbentuk, dia tidak
berubah sampai sekarang.
2.1.5 Teori Teknik Lingkungan
Teori
teknik lingkungan didasarkan pada apa yang dianggap sebagai hokum alam, yaitu
kelangkaan sumberdaya alam dan tekanan penuduk. Teori ini menjelaskan bahwa
upaya untuk mengontrol pertumbuhan penduduk sudah terjadi sejak jaman dahulu.
Dalam konteks ini pandangan mengenai perempuan berakar pada peran reproduktif
mereka.
2.1.6 Teori
Struktural-Fungsionalis atau Teori Sistem Sosial
Teori
ini mengakui adanya keanekaragaman dalam kehidupan sosial. Dalam kondisi
seperti itu, dibuatlah suatu sistem yang berlandaskan konsensus nilai agar
terjadi interelasi demi sesuatu yang dinamakan harmoni, stabilitas, dan
keseimbangan. Sistem ini mensyaratkan aktor dalam jumlah memadai, sehingga
fungsi dan struktur seseorang dalam system menentukan tercapainya stabilitas
atau harmoni. Ini berlaku untuk semua sistem sosial : agama, pendidikan,
politik, sampai rumah tangga. Sosialisai fungsi dan struktur dilakukan dengan
institusionalisasi, melalui norming, atau norma-norma yang disosialisasikan.
2.1.7 Teori
Konflik Sosial
Teori
ini menyakini bahwa inti perubahan dalam sistem sosial dimotori oleh konflik.
Konflik timbul karena adanya kepentingan dan kekuasaan. Bila salah satu
kepentingan yang memiliki kekuasaan memenangkan konflik, maka ia akan menjadi
dominan dan melanggengkan sistem sosial yang telah terbentuk. Teori ini sangat
sinis terhadap kekuasaan, kemapanan, sifat borjuis, system kapitalis, dan semua
hal yang memiliki strata dan struktur. Teori ini juga memandang
institusionalisasi sebagai system yang melembagakan pemaksaan. Istilah mereka
adalah imperatively coordinate association, yaitu pemaksaan koordinasi relasi
sosial dalam sebuah sistem. Dalam hubungan ini termasuk juga hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan.
2.2
Konsep
Gender
Istilah gender dikemukakan oleh para ilmuwan sosial
untuk mejelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan
sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang
dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting
karena selama ini kita sering sekali mencampuradukan ciri-ciri manusia yang
bersifat kodrati dan tidak berubah dengan yang bersifat non kodrat (gender)
yang sebenarnya bisa berubah atau diubah. Perbedaan peran gender ini sangat
membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini
dianggap telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki. Dengan mengenali
perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, akan
memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi perempuan dan
laki-laki yang dinamis, yang lebih cocok dengan kenyataan yang ada dalam
masyarakat. Kita perlu memisahkan perbedan jenis kelamin dan gender, karena
konsep jenis kelamin biologis yang bersifat permanen dan statis itu tidak dapat
digunakan sebagai alat analisis yang berguna untuk memahami realitas kehidupan
dan dinamika perubahan relasi laki-laki dan perempuan’ Di pihak lain, alat
analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis diskursus
(discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini digunakan untuk
memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas adanya relasi kekuasaan
yang didasarkan pada relasi gender dan sangat berpotensi menumbuhkan
penindasan. Dengan begitu analisis gender sebenarnya menggenapi sekalligus
mengoreksi alat analisis sosial yang ada yang
dapat
digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial laki-laki dan perempuan serta
akibat-akibat yang ditimbulkannya. Dengan demikian gender adalah perbedaan
peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikontruksikan oleh
masyarakat dan dapat berubah sesuai
dengan
perkembangan jaman. Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan antara kata
gender dengan kata sex. Sex adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan
secara biologis, yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin,
laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau
ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanent atau universal. Jenis kelamin atau
sex adalah adalah karakteristik biologis hormonal dan anatomis. Sex tidak bias
berubah, permanent dan tidak bias dipertukarkan karena bersifat mutlak.
Sedangkan gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal
persifatan, peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh masyarakat.
Karenanya ia bersifat relative, dapat berubah, dan dapat dipertukarkan.
Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat. Dua hal pokok perlu diperhatikan dalam memahami konsep gender
saat ini, yaitu : ketidak-adilan dan diskriminasi gender di satu pihak,
dan kesetaraan serta kekeadilan gender di pihak lain.
2.2.1
Ketidakadilan dan Diskriminasi Gender
Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan
kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial yang di dalamnya baik
perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai
pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara
langsung berupa perlakuan dan sikap, maupun tidak langsung berupa dampak suatu
perundang-undangan dan kebijakan yang menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang
telah berakar dalam sejarah dan budaya serta dalam berbagai struktur yang ada
dalam masyarakat. Ketidak-adilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan
pembenaran yang tertanam sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang
bukan hanya menimpa perempuan saja, melainkan dialami pula oleh laki-laki.
Meskipun secara agregat ketidak-adilan gender dalam berbagai bidang kehidupan
ini lebih banyak dialami oleh perempuan, namun hal itu berdampak pula terhadap
laki-laki. Bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskrimainasi gender
itu meliputi marjinalisasi, sub ordinasi, pandangan stereotype, kekerasan, dan
beban kerja.
a.
Marjinalisasi (peminggiran,
pemiskinan) atas perempuan maupun atas laki-laki
yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah salah satu bentuk ketidak-adilan
yang disebabkan gender. Contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi
miskin akibat program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya
memfokuskan pada petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis
kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang
biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Sebaliknya, banyak lapangan
pekerjaan yang memerlukan kecermatan menutup pintu bagi laki-laki karena
anggapan bahwa laki-laki kurang teliti dalam melakukan pekerjaan yang
memerlukan kecermatan dan kesabaran. Demikian pula banyak pekerjaan yang
dianggap sebagai pekerjaan perempuan, seperti guru taman kanak-kanak,
sekretaris, atau perawat, dinilai lebih rendah dibanding pekerjaan laki-laki.
Hal tersebut berpengaruh pada pembedaan gaji yang diterima perempuan.
b.
Sub ordinasi gender adalah
keyakinan dan perlakuan yang menunjukkan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah
sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih
rendah daripada laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan, maupun
aturan birokrasi yang menempatkan kaum perempuan pada tatanan sub ordinat.
c.
Pelabelan atau penandaan (stereotype)
yang
sering sekali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidak-adilan.
Pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya melaksanakan pekerjaan
yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik adalah suatu ketidak-adilan
gender. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” sangat merugikan mereka
jika hendak aktif dalam kegiatan laki-laki seperti politik, bisnis, atau
birokrasi.
d.
Kekerasan terhadap
perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata
“kekerasan” yang merupakan terjemahan dari kata “violence” artinya suatu
serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Pelaku
kekerasan yang bersumber pada gender bermacam-macam. Ada yang bersifat
individual seperti di rumah tangga maupun di tempat umum, ada juga yang
berlangsung di dalam masyarakat dan negara.
e.
Beban kerja yang
merupakan diskriminasi dan ketidak-adilan gender adalah beban kerja yang harus
dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Berbagai observasi
menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga,
sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah
publik mereka juga harus mengerjakan pekerjaan domestik.
2.2.2
Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan dan Keadilan Gender adalah suatu kondisi
di mana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, seimbang, dan
harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara
perempuan dan laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus
memperhatikan aspek konteks dan situasi. Sifat situasional dari suatu konteks
menunjukkan penerapan kesetaraan gender tidak bias dilakukan secara sama di
semua strata masyarakat. Vandana Shiva menyebutnya equality in
diversity ( persamaan dalam keragaman).
Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk
Tuhan memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang
sama itu bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan adalah
diciptakan dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi
derajatnya dibanding makhluk lain.
Dihadapan Tuhan, semua manusia adalah sama derajat,
kedudukan, atau tingkatannya. Yang membedakan nantinya adalah tingkat ketakwaan
manusia tersebut terhadap Tuhan.
Persamaan atau tingkatan manusia ini berimplikasi pada
adanya pengakuan akan kesetaraan atau kesederajatan manusia. Jadi, kesetaraan
atau kesederajatan tidak sekedar bermakna adanya persamaan kedudukan manusia.
Kesederajatan adalah suatu sikap mengakui adanya persamaan derajat, persamaan
hak dan persamaan kewajiban sebagai sesama manusia. Implikasi selanjutnya
adalah perlunya jaminan akan hak-hak itu agar setiap manusia bisa
merealisasikan serta perlunya merumuskan sejumlah kewajiban-kewajiban agar semua
bisa melaksanakan agar tercipta tertib kehidupan.
BAB III
PENUTUP
3.
KESIMPULAN
Gender adalah perilaku
atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang terkonstruksikan atau
dibentuk dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu masa waktu tertentu. Gender
ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian
jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai alat
reproduksi untuk menghasilkan sperma dalam untuk meneruskan keturunannya,
sementara perempuan mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan serta menyusui
dan menopause.
Bentuk hubungan gender
dengan seks (jenis kelamin) itu sendiri adalah sebagai hubungan sosial antara
laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah
merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender
berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain,
akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang
dianut.
Contoh; masyarakat suku Batak tentunya berbeda
dalam hal gender dengan masyarakat suku Minang yang lebih mengistimewakan
perempuan disbanding laki-laki.
Dari peran ataupun
tingkah lakunya di masyarakat terjadi pembentukan yang membedakan laki-laki dan
perempuan dimana “mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut,
emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll.
Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari
nafkah dll. Maka terjadilah ketidakadilan dalam kesetaraan peran ini.
Masalah Gender Dalam Perilaku
Sosial Budaya Masyarakat meliputi:
a. Ketidak
adilan gender Marjinalisasi atau Pemiskinan
b.
Subordinasi atau penomorduaan
c. Sikap
negatif masyarakat terhadap perempuan
d. Isu gender dalam hukum Adat
Sumber Referensi